Muhammad Ali: Legenda Tinju dan Ikon Abadi


Posted on 19/02/2021 by Waylon Stefanus

Muhammad Ali adalah salah satu atlet paling terkenal dan dihormati dalam sejarah olahraga. Tidak hanya karena prestasinya di dalam ring, tetapi juga karena kepribadiannya yang karismatik. Sikapnya terhadap isu-isu sosial, dan pengaruhnya yang melampaui dunia tinju. Ali, yang lahir dengan nama Cassius Marcellus Clay Jr. pada 17 Januari 1942, mengubah namanya setelah memeluk Islam dan menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh di abad ke-20.

Baca Juga : Sejarah Tinju: Dari Zaman Kuno Hingga Olahraga Modern

Awal Karier dan Kebangkitan ke Puncak

Muhammad Ali lahir di Louisville, Kentucky, dan mulai berlatih tinju pada usia 12 tahun setelah sepeda kesayangannya dicuri. Ali muda, yang dikenal karena kecepatan dan ketangkasan luar biasa untuk ukuran kelas berat, dengan cepat menarik perhatian sebagai prospek tinju yang menjanjikan.

Pada tahun 1960. Ali memenangkan medali emas di Olimpiade Roma di divisi kelas berat ringan, yang menjadi awal dari karier profesionalnya. Setelah kembali dari Olimpiade. Ali memulai karier profesionalnya dengan kemenangan beruntun yang mengesankan, dengan gayanya yang khas: gerakan kaki yang cepat. Pukulan yang akurat, dan kemampuannya untuk menghindari serangan lawan.

Pada 25 Februari 1964, pada usia 22 tahun. Ali menantang Sonny Liston untuk gelar juara dunia kelas berat. Meskipun dianggap sebagai underdog. Ali mengejutkan dunia dengan mendominasi Liston, yang dianggap sebagai salah satu petinju paling menakutkan pada masa itu. Setelah enam ronde, Liston tidak bisa melanjutkan pertarungan, dan Ali dinyatakan sebagai juara dunia kelas berat. Pada saat itulah, Ali dengan bangga menyatakan, “I shook up the world!” (Saya telah mengguncang dunia!).

Perubahan Nama dan Kontroversi

Tak lama setelah memenangkan gelar juara dunia, Ali mengumumkan bahwa ia telah memeluk Islam dan mengubah namanya dari Cassius Clay menjadi Muhammad Ali, nama yang diberikan oleh pemimpin Nation of Islam, Elijah Muhammad. Keputusannya ini menimbulkan kontroversi besar di Amerika Serikat, terutama di tengah ketegangan rasial yang sedang memuncak pada tahun 1960-an.

Pada tahun 1967, kontroversi semakin memanas ketika Ali menolak untuk ikut serta dalam wajib militer untuk berperang di Vietnam. Ali menolak atas dasar keyakinan agama dan penolakannya terhadap perang, yang dia anggap sebagai perang yang tidak adil terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Akibatnya, gelar juara dunia Ali dicabut, dan ia dilarang bertinju selama hampir empat tahun, yang merupakan masa puncak dalam kariernya.

Kembalinya Sang Juara

Setelah larangan bertanding dicabut pada tahun 1970, Ali kembali ke ring dengan tujuan merebut kembali gelarnya. Pada tahun 1971, ia menghadapi Joe Frazier dalam pertarungan yang dijuluki “Fight of the Century”. Ali kalah dalam pertarungan tersebut, yang menjadi kekalahan pertama dalam karier profesionalnya. Namun, ia kembali bangkit dan mengalahkan Frazier pada pertandingan ulang pada tahun 1974.

Pada 30 Oktober 1974, Ali menghadapi George Foreman dalam pertarungan legendaris yang dikenal sebagai “The Rumble in the Jungle” di Kinshasa, Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo). Foreman, yang terkenal dengan kekuatan pukulannya yang luar biasa, dijagokan untuk menang, tetapi Ali menggunakan strategi yang cerdik yang disebut “rope-a-dope”, di mana ia menyerap pukulan Foreman sambil bertahan di tali ring sebelum akhirnya melancarkan serangan balik yang sukses menjatuhkan Foreman di ronde kedelapan. Kemenangan ini mengukuhkan Ali sebagai salah satu petinju terbesar sepanjang masa.

Pertarungan Epik dan Warisan

Pada tahun 1975, Ali menghadapi Joe Frazier untuk ketiga kalinya dalam pertarungan yang dikenal sebagai “Thrilla in Manila”. Pertarungan ini dianggap sebagai salah satu yang terberat dalam sejarah tinju, di mana kedua petinju bertarung dengan keras selama 14 ronde sebelum Frazier tidak bisa melanjutkan pertarungan, dan Ali dinyatakan sebagai pemenang. Pertarungan ini menegaskan status Ali sebagai juara sejati dan menambah legenda kariernya.

Sepanjang kariernya, Ali dikenal karena gaya bertarungnya yang unik, dengan slogan terkenal “float like a butterfly, sting like a bee” (mengambang seperti kupu-kupu, menyengat seperti lebah). Ia menggabungkan kecepatan, ketangkasan, dan kecerdasan dalam bertarung, membuatnya menjadi petinju yang sulit dikalahkan.

Ali juga dikenal sebagai tokoh yang sangat vokal di luar ring. Ia tidak hanya berbicara tentang isu-isu sosial, terutama terkait dengan hak-hak sipil dan ketidakadilan rasial, tetapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan.

Kehidupan Setelah Tinju dan Pengaruh Abadi

Setelah pensiun dari tinju pada tahun 1981, Ali didiagnosis menderita penyakit Parkinson pada tahun 1984, yang diperkirakan terkait dengan cedera kepala yang dideritanya selama karier tinjunya. Meskipun kesehatannya menurun, Ali tetap menjadi figur publik yang dihormati dan sering kali tampil dalam acara-acara amal dan kegiatan sosial.

Muhammad Ali meninggal pada 3 Juni 2016, meninggalkan warisan yang luar biasa dalam dunia olahraga dan di luar ring. Ia tidak hanya diingat sebagai salah satu petinju terbesar sepanjang masa, tetapi juga sebagai pejuang hak-hak sipil, ikon budaya, dan inspirasi bagi jutaan orang di seluruh dunia.

Ali menerima berbagai penghargaan sepanjang hidupnya, termasuk Penghargaan Perdamaian Liberty, Presidential Medal of Freedom, dan dinobatkan sebagai “Sportsman of the Century” oleh Sports Illustrated.

Kesimpulan

Muhammad Ali adalah lebih dari sekadar petinju; ia adalah simbol perlawanan, keberanian, dan integritas. Dengan kepribadian yang karismatik, kecerdasan yang tajam, dan keberanian untuk memperjuangkan keyakinannya, Ali menjadi legenda yang melampaui dunia tinju. Warisannya akan terus hidup sebagai inspirasi bagi generasi mendatang, baik sebagai atlet maupun sebagai pejuang hak asasi manusia.


Worldwide

0